Intelektualisme, dunia yang menawarkan sejuta kemegahan, kehormatan, jauh dari hina bagi siapapun yang memandangnya. Seolah tak ada cacat dalam seorang yang memiliki dan menghayati sesuatu yang bernama intelektualisme ini. Ya, di tangan orang yang memiliki intelektualisme, dunia bisa berubah dan dapat meraih tempat yang ada di pikiran dan batinnya. Arah dirinya, keluarganya, sahabatnya, rekannya, komunitasnya, lagi bangsanya bisa berubah dalam hasil pemikiran dan usaha riilnya. Tindakan murni dari pikiran yang gilang gemilang dan jenius. Dunia itu datang kepada siapa saja yang mau bekerja keras memanfaatkan waktunya hingga ke satuan terkecil dalam waktu, sebuah detik atau bahkan seperjuta, sepermilyar detik untuk mau berpikir dan membaca memahami seluruh isi dunia atau bahkan hanya membaca makna di balik kehidupan hingga ke dalam satuan terkecil pun entah itu nyamuk, pasir, molekul, atau selebihnya. Kan, sudah dikatakan dalam buku: semua yang ada di bawah kolong langit adalah urusan bagi setiap orang yang mau berpikir. Bukan urusan untuk satu, dua atau sebuah komunitas orang saja. Jelas, bagi semua orang yang mau berpikir. Dua kata kunci yaitu mau, willingness, dan berpikir, thinking. Dengan kedua poin itu, seorang manusia yang lemah sekalipun, cacat, atau bahkan hina dina sekalipun bisa merengkuh semua yang ada di bawah kolong langit kita.
Dan intelektualisme di duniaku dan juga bangsaku, bernama intelektualisme Indonesia, masih belum mengeluarkan keperkasaannya dalam memiliki dan mengolah ilmu yang ada di atas maupun di bawah dunia. Intelektualisme di Indonesia masih perlu usaha keras, dan bahkan lebih keras lagi untuk dapat berdiri sejajar dengan masyarakat dunia barat dan utara yang telah berlari sebelumnya. Tak ada alasan bagi kita untuk tidak menjadi intelektual dan terus berlari mengejar harga diri, prestise, berdiri dan sejajar dengan masyarakat yang telah berlari dan mendapatkan berjuta prestasi. Namun esensi dan tujuan akhirnya haruslah tetap sama dan bernilai serta bermanfaat bagi bangsa Indonesia: kesejahteraan.
Dan apa pula manfaat yang telah saya berikan kepada bangsaku? Baru saja sebuah nasionalisme temporer yang sedang meninggi muncul dan menggelegar hanya karena membaca sebuah roman. Sungguh memalukan, dengan sarana dan prasarana serta sebuah institusi tinggi dan cukup agung namanya belum bisa memberikan kepada bangsa sebuah output yang menggelegar dan prestisius. Dan idealisme itu, yang seharusnya permanen, belum tertancap secara utuh dan menyeluruh kepada hati dan akal ini. Rupanya nafsu-nafsu keduniawian, tak jauh-jauh dari harta, tahta, wanita, dan keturunan yang terbaik di muka manusia masih mengendalikan cara berpikir saya ke arah itu. Temporer bukan berarti tidak bisa menjadi permanen kan, Bantahku. Pada dasarnya, manusia itu suka membantah dengan apa yang dimiliki namun tak diindahkannya. Yaitu terang saja: kekurangan. Kekurangan yang seringnya tidak mau diterima dan diperbaiki, namun terus saja dibantah, dibantah, dan tetap saja dibantah!. Dan mulai sekarang saya akan terus mencoba sebagai seorang yang terpelajar.
Seorang terpelajar memang seharusnya sangat baik dan agung dalam lisan, dan tentu saja tulisan serta tetap mempelajari keadaan-keadaan sederhana di atas dunia dan mengambil hikmahnya. Manusia memang diberikan dua telinga dan satu mulut. Tahu apa artinya? Salah, kalau saudara menyugestikan untuk banyak bicara dan sedikit mendengar. Salah kaprah, tidak ketulungan. Hikmah yang ada pada kejadian sederhana pemberian Tuhan yang tidak dapat tertandingi itu adalah jujur agar kita terus belajar, tidak banyak bicara mengobral perkataan yang banyaknya memang tak jelas, absurd, dan tak berfaedah bagi siapapun dan masyarakat. Dan hikmah lain adalah kita diperintah oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada duanya di dunia ini untuk terus mendengarkan. Dan mendengarkan tentu saja mendengarkan yang baik. Tentu saja, kita harus mendengarkan dari orang-orang yang ahli dalam suatu bidang. Oleh karena itu, pergaulan kita menjadi penting bagi untuk terus belajar dan berkembang menjadi manusia modern.
Kata-kata terakhir di atas adalah kata-kata yang umum dikatakan dan dituliskan dalam berbagai media. Modern. Memberikan kemudahan dan kepraktisan dalam bertindak tanpa harus melewati dan menjalani proses yang panjang dan merumitkan otak. Tapi, seringnya saya sendiri terjebak oleh kemudahannya. Dan sebagai output akhirnya adalah menjadi: manusia konsumtif. Gila benar manusia. Menjadi konsumtif tanpa menghasilkan kata produktif. Adalah hina dina. Terpelajar seharusnya dapat produktif karena sudah memiliki ilmu, sudah memiliki variabel independen dalam fungsi biaya berupa teknologi dan kewirausahaan. Seharusnya biaya produksi menjadi lebih rendah dan dapat menunjang terciptanya output. Teori hingga alat analisis yang dapat menghasilkan alat-alat berupa modernitas sudah tersedia di depan mata.
Dan tahukah anda esensi hasil sugesti analisis di atas? Ya, memang benar: kita harus menjadi manusia produktif. Namun, yang terjadi malah sebaliknya: kita menjadi manusia konsumtif. Seorang yang memiliki ilmu untuk menjadi lebih konsumtif. Ah, semakin gila saja orang intelek yang terus menjadi konsumtif dan membuang banyak waktunya untuk terus menjadi pembuang waktu tanpa mau terus belajar dan menjadi lebih produktif. Intelektual seharusnya menghasilkan sesuatu dalam segala bidang: ekonomi, sosial, politik, grafis, teknologi informatika, teknis dan lain yang tak bisa saya sebutkan, dan tentu saja mempelajari kehidupan.
Sampai pada detik ini, saya masih (semoga tidak menghilang) memiliki pemikiran tentang intelektualisme dan nasionalisme yang temporer untuk terus menjadi permanen dan semoga terus berjalan ke arah sana. Dan tentu saja saya sangat menunggu dan menantikan serta akan selalu memberikan apresiasi bagi manusia terpelajar lain di Indonesia yang dipersenjatai dengan ilmu untuk terus berpikir serta berkarya baik dengan lisan dan tulisan. Mengharapkan prestasi gilang gemilang lagi menggelegar diperoleh rekan mahasiswa yang terpelajar dan sudah seharusnya dilengkapi dengan intelektualisme untuk dapat memajukan bangsa. Membawa bangsa ini untuk pergi ke arah modernitas dengan mengindahkan dan menghayati setiap tahap proses yang berliku. Membawa bangsa ini untuk berada lebih maju dari bangsa-bangsa lain di dunia dan pada tempat paling tinggi dalam dunia modernitas Tetap dan teruslah berpikir serta bekerja keras untuk menjadi bangsa yang terhebat di atas bumi ini!
Referensi:
http://equilibrium.fe.ugm.ac.id/Opini/intelektualisme-nasionalisme-dan-terpelajar.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar