Selasa, 24 Mei 2011

Pancasila dan Sensasinya

Menarik disimak saat pidato kenegaraan peringatan kemerdekaan AS bulan kemarin, meski apa pun kata orang tentang George W Bush, ia punya tempat tersendiri di hati orang AS. Dalam pidato yang disiarkan radio setempat sehari setelah HUT Kemerdekaan AS ke-232, presiden AS ke-43 itu mengimbau rakyatnya untuk bangga menjadi orang AS dan menerima kehadiran pasukan AS di sejumlah negara di dunia, khususnya Irak dan Afganistan.
Para tentara itu bersedia menghadapi berbagai risiko demi menjaga kedaulatan negara. AS, kata Bush, dapat tepat tegak berdiri sebagai negara bermartabat berkat kehadiran para tentara yang gagah berani. Ia meminta seluruh rakyat mempertahankan tradisi AS itu.

Sehari sebelumnya, Bush menekankan pentingnya patriotisme dan nasionalisme. Globalisasi dan upaya mewujudkan dunia yang aman dan damai bagi semua orang harus berjalan seiring dengan patriotisme dan nasionalisme.

Saya tidak setuju dengan keputusan pemerintah AS menyerang Afganistan dan Irak. Saya juga menolak keras sikap Bush yang memasukkan tindakan senjata sebagai bagian dari penyelesaian masalah Iran. Tapi, sikap pemerintah AS yang tak henti-hentinya mengobarkan patriotisme dan nasionalisme layak ditiru.

Patriotisme dan nasionalisme telah mengantar AS mencapai kemajuan ekonomi. Dengan produk domestik bruto (PDB) US $ 14 triliun atau 26% dari total PDB dunia, AS menjadi kekuatan ekonomi yang sangat mempengaruhi dunia. AS unggul di berbagai bidang ekonomi, baik pertanian, industri manufaktur, migas, pertambangan, finansial, dan sebagainya.

Meski dalam krisis, masyarakat AS tetap bangga sebagai warga negara AS. Sikap inilah yang membuat AS cepat bangkit dari keterpurukan.

Setelah melewati 100 tahun kebangkitan nasional dan menjelang HUT kemerdekaan ke-63, apakah kita bangga sebagai warga negara Indonesia? Dalam persaingan global yang kian ketat, masihkah kita bangga menjadi orang Indonesia?

Berbagai retorika boleh saja ditebarkan ke masyarakat seperti ‘bersama kita bisa’, ‘Indonesia bisa’, ‘Indonesia bangkit’, dan sebagainya. Tapi, mayoritas bangsa ini merasa sebagai bangsa yang kalah. Dalam pada itu, patriotisme dan nasionalisme telah tergerus berbagai kebijakan yang kurang mempedulikan kepentingan nasional.

Pertama, setelah 100 tahun kebangkitan nasional dan menjelang HUT RI ke-63, Indonesia memasuki ‘kegelapan’. Setelah berulang kali pemadaman listrik berjalan, PT PLN mengumumkan untuk memberlakukan lagi pemadaman bergilir yang lebih panjang. Dunia usaha berteriak, sementara rakyat kecil tak lagi punya kekuatan untuk mengeluh.

Pemadaman bergilir yang terjadi beberapa tahun terakhir ini antara lain disebabkan oleh lemahnya perencanaan. Dalam empat tahun terakhir, menurut saya, pemerintah bekerja tanpa Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Listrik adalah infrastruktur vital. Tanpa dukungan energi listrik, industri mati dan rakyat menderita.

Dana tidak pantas menjadi alasan pemadaman listrik. Pemerintah Indonesia mampu menyediakan belasan triliun rupiah dana bantuan langsung tunai (BLT). Mengapa untuk infrastruktur vital seperti listrik luput dari prioriotas pemerintah?

Kedua, kekayaan alam –khususnya migas dan pertambangan-- Indonesia dibiarkan dieksploitasi asing tanpa memberikan manfaat optimal kepada Indonesia. Kini, ketika rakyat tercekik harga energi dan para pemodal asing berpesta pora menikmati windfall profit migas dan batubara seiring melonjaknya harga komoditas itu di pasar dunia, tak ada kebijakan pemerintah untuk membela kepentingan nasional. Mestinya, menurut pendapat saya, dalam situasi seperti ini, pajak terhadap perusahaan migas dan pertambangan dinaikkan guna meringankan penderitaan rakyat.

Ketiga, saat industri sekarat dan pertanian terpuruk, tidak ada gerakan cinta produk dalam negeri. Produk industri dan pertanian impor semakin merajalela di pasar domestik. Saya tidak anti-asing, tapi kebijakan mengutamakan produk nasional adalah KEHARUSAN.

Begitu banyak kebijakan negeri ini yang tidak mendukung upaya mencapai kemandirian dan membuat bangsa ini bagai pengemis bermangkuk emas. Kita mengemis bantuan asing. Lupa, bahwa asing yang kita mintai bantuan itu telah mengeruk (baca; merampok) kekayaan alam Indonesia dalam jumlah sangat besar hingga kita menjadi miskin.

Kita akan tegak berdiri sebagai bangsa berdaulat di mata internasional jika kita melaksanakan apa yang dikatakan Bung Karno: berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri. Kita harus mulai membangun kemandirian dengan mencintai produk dalam negeri.

Patriotisme dan nasionalisme bukanlah anti-asing atau tidak membutuhkan asing. Sebagai warga dunia yang sama-sama hidup di bawah atap langit, kita jelas saling membutuhkan dan wajib saling menolong. Tapi, tanpa PATRIOTISME dan NASIONALISME, kita takkan bisa berkompetisi. Tetap miskin dan menjadi bangsa yang kalah.

Kita harus memulai dengan bangga sebagai orang Indonesia meski saat ini begitu banyak alasan yang membuat kita tidak mampu melangkah dengan kepala tegak di mata dunia. Bagaimana dengan Anda?

Refrensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar